Minggu, 16 Januari 2011

GLOBALISASI DAN INTEGRASI EKONOMI ASEAN


Memasuki milenium ketiga dunia ditandai dengan terintegrasinya negara-negara pada belahan dunia pada satu sistem khususnya pada bidang ekonomi.  Proses integrasi ekonomi ini penting dilakukan masing-masing kawasan untuk dapat bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia.
           
Menurut Lodge (1991) globalisasi merupakan proses yang menempatkan masyarakat dunia dapat menjangkau satu dengan yang lainnya atau saling terhubungkan dalam semua aspek kehidupan mereka baik dalam bidang budaya, ekonomi, politik, tekhnologi maupun lingkungan hidup. Dengan kata lain bahwa masyarakat dunia hidup dalam suatu era di mana sebagian besar kehidupan mereka sangat ditentukan oleh proses global. Selain konsep kesalinghubungan, konsep yang sering muncul adalah integrasi. Menurut Amal bahwa globalisasi merupakan proses munculnya masyarakat global yaitu suatu dunia yang terintegrasi secara fisik dengan melampui batas negara, baik ideologi dan lembaga-lembaga politik dunia. Dalam pengertian bahwa globalisasi sebagai terwujudnya sebuah ekonomi dunia yang terintegrasi antara satu dan lainnya. Lebih jauh pandangan ini menitik beratkan kepada bagaimana menghilangkan faktor-faktor yang menghambat perdagangan dunia serta penyatuan pasar ekonomi secara keseluruhan tanpa melihat batas-batas teritorial sebuah negara.
           
Integrasi ekonomi secara regional merupakan langkah awal dalam upaya menyatukan sistem ekonomi dunia menjadi pasar tunggal. Langkah-langkah menuju integrasi ekonomi menjadi fokus kebijakan yang dikeluarkan oleh hampir setiap negara yang mengalami peningkatan terhadap pertumbuhan ekonomi negaranya khususnya negara-negara yang secara geografis berada dalam satu kawasan regional.

PERAN NEGARA DALAM REGIONALISASI EKONOMI

            Dalam kacamata kaum realis seperti Robert Gilpin, di era globalisasi sekarang ini peran negara masih signifikan bahkan semakin penting. Untuk membuktikan pendapatnya tersebut, Gilpin pada awalnya menggugat beberapa keyakinan yang dianut oleh para pendukung globalisasi pada pasar bebas. Menurut Gilpin, banyak pihak yang mempunyai keyakinan bahwa sebuah pergeseran yang besar tengah terjadi dari ekonomi state dominated ke arah ekonomi market dominated. Kelumpuhan ekonomi Uni Soviet misalnya merupakan contoh kongkrit dari kegagalan apa yang disebut dengan state dominated. Dimana negara melakukan kontrol ketat terhadap mekanisme pasar dari semua aktivitas perekonomian masyarakatnya. Namun disisi lain keberhasilan ekonomi Amerika Serikat pada era 1990-an telah mendorong penerimaan dari unristricted market sebagai solusi bagi penyakit ekonomi modern. Karena deregulasi dan beberapa reformasi yang lain telah mengurangi peran negara dalam ekonomi, banyak orang memiliki keyakinan bahwa pasar bebas akan menjadi mekanisme paling penting dalam menentukan ekonomi domestik maupun internasional dan terlebih lagi hubungan-hubungan yang dibangun secara politik. Dalam suatu ekonomi global yang sudah terintegrasi, negara menurut pandangan ini akan menjadi anakronisme dan berada dalam situasi kemunduran. Banyak dari mereka percaya bahwa menurunnya peran negara akan menjadi pembuka ke arah ekonomi global yang sesungguhnya yang dicirikan oleh ketiadaan hambatan dalam perdagangan, aliran uang dalam skala global dan kegiatan internasional dari perusahaan-perusahaan multinasional (Gilpin 2001).

            Dalam banyak fakta menunjukkan bahwa peran negara masih sangat dibutuhkan serta tetap relevan bahkan semakin penting di era pasar sekarang ini. Dapat dilihat misalnya, dalam konteks munculnya regionalisasi ekonomi (economic regionalism) seperti terbentuknya uni eropa (Europe Union) sebagai respon terhadap perkembangan tekhnologi, ekonomi, dan politik. Menurut Gilpin, penyebaran regionalisasi ekonomi ini merupakan respon penting dari negara untuk menyelesaikan secara bersama-sama masalah politik dan interdepedensi yang tinggi dari ekonomi global yang kompetitif. Meskipun tidak ada penjelasan yang tunggal mengenai regionalisme, namun setiap penetapan regional mewakili usaha-usaha secara individual negara untuk memperjuangkan tujuan-tujuan ekonomi politik mereka, baik yang bersifat nasional maupun kolektif.  Karena ekonomi global semakin terintegrasi, pengelompokkan regional bangsa telah meningkatkan kerjasama dalam rangka memperkokoh otonomi, memperbaiki posisi tawar dan memperjuangkan tujuan-tujuan ekonomi politik lainnya. Politik internasional yang dilakukan oleh negara bangsa merupakan cermin dari perjuangan negara-negara bangsa untuk meraih kekuasaan (struggle for power).

            Munculnya regionalisasi ekonomi merupakan perwujudan serta kesadaran tinggi dari negara dalam upaya memperjuangkan kepentingan nasional serta kepentingan regional mereka. Disisi lain dalam konteks liberalisasi ekonomi dan perdagangan bertujuan untuk mengharuskan penerimaan dari bentuk-bentuk diskriminasi  perdagangan dan kebijakan-kebijakan nonliberal yang dilakukan secara berkala. Dimasa sekarang ini, peran negara justru dibutuhkan demi berlakunya perdagangan bebas seperti harapan kaum neoliberal. Kebijakan negara terkait dengan perdagangan bebas akan memberikan stimulus bagi perusahaan-perusahaan domestik dan multinasiona dalam mengejar target untuk dapat memenangkan persaingan pasar dimana kompetisi terus tercipta. Hambatan-hambatan perdagangan tidak mungkin dapat dihilangkan tanpa adanya peran regulasi negara dimana pasar ekonomi akan selalu mengikuti irama persaingan dalam perdagangan. Ini semua dalam upaya menciptakan perdagangan bebas sebagai  jawaban terhadap tuntutan globalisasi yang menginginkan adanya perdagangan bebas. Dengan demikian tidak dapat dinafikan peran negara dalam tataran empiris sangat dibutuhkan untuk menciptakan regionalisasi ekonomi dalam era globalisasi seperti sekarang ini.

            Dalam konteks empirisnya, regionalisasi ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat eropa yang membentuk Uni Eropa harus dapat menjadi referensi utama bagaimana regionalisasi ekonomi digagas dan dibangun tersebut mampu menjadi solusi terhadap upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dibidang ekonomi serta memenangkan persaingan global. Ini merupakan cerminan bagaimana peran negara bangsa dalam menata sistem ekonomi regionalnya.

INTEGRASI EKONOMI ASEAN

Kontiniuitas perubahan lingkungan ekonomi global telah mengarahkan pada terciptanya suatu sistem perdagangan yang bebas serta pasar tunggal. Hal ini merupakan suatu tantangan yang harus dihadapi serta dijawab oleh negara-negara yang tergabung dalam ASEAN sebagai upaya meningkatkan posisi tawar ASEAN dalam sistem perekonomian global. Peningkatan posisi tawar ini tentunya akan berdampak pada perdagangan dan arus investasi yang tentunya akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN.

            Keberhasilan Uni Eropa (Eorpe Union) membentuk satu pasar tunggal mengilhami ASEAN untuk melakukan hal yang sama. Pada KTT ASEAN Oktober 2002 di Kamboja, PM Singapura Goh Cok Tong mengusulkan agar di tahun 2020 dibentuk apa yang disebutnya sebagai pasar tunggal ASEAN mencontoh keberhasilan pembentukan pasar tunggal Eropa yang diberlakukan di kawasan Uni Eropa. Usulan ini langsung mendapat dukungan penuh dari PM Thailand Thaksin Shinawatra dan PM Malaysia Mahathir Mohammad. Pelaksanaan gagasan ini kemudian diwujudkan dalam sebuah naskah kesepakatan bersama negara-negara ASEAN yang lebih dikenal dengan istilah penandatanganan Bali Concorde II pada tanggal 7 Oktober 2003, yang menyepakati terbentuknya ASEAN Community pada tahun 2020 dengan tiga pilar utama: ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community dan ASEAN Socio-Culture Community.

            Penyatuan ASEAN ke dalam ASEAN Community ini tentunya akan membawa dampak yang luar biasa besar, tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi juga dalam segala aspek kehidupan lainnya. Selain itu juga posisi tawar negara-negara anggota ASEAN akan semakin meningkatkan persaingan kawasan-kawasan regional yang telah dibentuk sebelumnya. Dari sisi ekonomi misalnya, penyatuan ini akan menciptakan pasar yang mencakup wilayah seluas 4,5 juta km2 dengan populasi sekitar 500 juta jiwa (jumlah yang setara dengan UE saat ini), total perdagangan lebih dari 720 milyar dollar per tahun serta produk domestik bruto (PDB) lebih dari737 milyar dollar. Sebagai gambaran, kesepakatan perdagangan bebas ASEAN mampu meningkatkan perdagangan intra ASEAN dari 43,26 milyar dollar pada tahun 1993 menjadi 80 milyar dollar pada tahun 1996, atau dengan rata-rata pertumbuhan 28,3 persen per tahun. Share perdagangan intra ASEAN terhadap total perdagangan juga meningkat dari 20 menjadi 25 persen. Penyatuan ASEAN ke dalam pasar tunggal diyakini akan memberikan dampak sangat besar.

Lebih jauh lagi, Mr. Osamu Watanabe (Presiden Organisasi Perdagangan Luar Negeri Jepang JETRO) memimpikan terjadinya integrasi ekonomi ASEAN plus 3 negara yaitu China, Jepang dan Korea. ASEAN di tambah tiga negara maju tersebut akan menghasilkan pasar yang jauh lebih besar dengan populasi lebih dari 3 milyar manusia, sehingga dampaknya pun akan jauh lebih dahsyat. Proses ke arah sana sudah dimulai dengan ditandatanganinya kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area serta Comprehensive Economic Partnership antara ASEAN-Jepang dan ASEAN-Korea Selatan. Bahkan, ekonomi Asia Timur akan makin besar dengan hadirnya India. Tanggal 29 Juni 2005 lalu India telah menandatangani Comprehensive Economic Co-operation Agreement dengan Singapura. Pada bulan November 2004, India dan ASEAN pun telah menandatangani kesepakatan India-ASEAN Regional Trade and Investment Area sebagai awal kerjasama India-ASEAN pada masa-masa mendatang.
           
            ASEAN Economic Community atau Pasar Tunggal ASEAN 2020 merupakan gambaran yang nantinya akan menjadi suatu kawasan ekonomi ekonomi tanpa frontier (batas antar negara) di tenggara Benua Asia yang memanjang sampai ke Utara dan Selatan benua Asia. dimana setiap penduduk maupun sumber daya dari setiap negara anggota bisa bergerak bebas (sebagaimana dalam negeri sendiri). Tujuannya adalah untuk mencapai tingkat kegunaan yang paling optimal yang pada akhirnya akan mendorong tercapainya tingkat kemakmuran (kesejahteraan) yang sama (merata) diantara negara-negara anggota ASEAN. Adapun Konsep ASEAN Economic Community dilandasi oleh empat pilar utama sebagai berikut:

  1. Free movement of goods and services.
Konsep ini memungkinkan terjadinya pergerakan barang-barang dan jasa tanpa ada hambatan (pajak bea masuk, tarif, quota dll), yang merupakan bentuk lanjut dari kawasan perdagangan bebas (sebagaimana AFTA) dengan menghilangkan segala bentuk hambatan perdagangan (obstacles) yang tersisa. Dengan demikian, barang-barang produksi negara anggota ASEAN akan bebas diperjual belikan di seluruh kawasan sebagaimana di negeri sendiri. Pada akhirnya konsumen akan bisa mendapatkan barang "terbaik“ dengan harga termurah.

  1. Freedom of movement for skilled and talented labours.
Konsep ini dimaksudkan untuk mendorong terjadinya mobilitas tenaga kerja sesuai dengan tuntutan pasar dan memberi kesempatan kepada setiap pekerja untuk menemukan pekerjaan terbaik sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki. Selanjutnya, mobilitas tenaga kerja akan mendorong terjadinya kontak dan meningkatkan saling pengertian antar sesama penduduk negara-negara ASEAN.  Berbeda dengan konsep UE yang memungkinkan terjadinya pergerakan tenaga kerja secara bebas, ASEAN hanya akan mengijinkannya untuk tenaga kerja pada kategori terdidik. Konsekuensinya, hanya orang-orang terdidik lah yang bebas bekerja dimana saja, sementara tenaga kerja tak terdidik tidak akan mendapat kesempatan.

  1. Freedom of establishment and provision of services and mutual recognition of diplomas.
Konsep ini menjamin setiap expert warga negara ASEAN akan bebas membuka praktek layanan di setiap wilayah ASEAN tanpa ada diskriminasi kewarganegaraan. Konsekuensinya setiap dokter, akuntan, pengacara dan WNI profesional lainnya akan bebas membuka praktek di negara-negara ASEAN lainnya, sebagaimana halnya dokter serta profesional dari negara ASEAN akan bebas membuka praktek di seluruh wilayah Indonesia.

  1. Free movement of capital.
Konsep ini akan menjamin bahwa modal atau kapital akan bisa berpindah secara leluasa diantara negara-negara ASEAN, yang secara teoritis memungkinkan terjadinya penanaman modal secara efisien. Dengan demikian, setiap pemilik modal baik WNI maupun waga negara lainnya akan bebas dan leluasa memindahkan investasinya dari Indonesia ke negara ASEAN --atau sebaliknya-- demi mencapai efisiensi tertinggi tanpa bisa dicegah.

Dengan keempat pilar konsep ini tentunya kondisi perekonomian yang terjadi di kawasan asia tenggara akan berlangsung sangat bebas bahkan jauh lebih bebas dari AFTA. Didalam AFTA pemerintah masing-masing negara ASEAN dimungkinkan untuk menerapkan bea masuk 1 hingga 5 persen yang bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri atau barang-barang produksi dalam negeri. Semoga upaya mewujudkan ASEAN Community yang akan membawa ASEAN kepada pengintegrasian perekonomiannya mampu menjadi sebuah langkah strategis dalam upaya pemerataan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat ASEAN.
           
                                   
                                                                                    


PENCUCIAN UANG DAN PEMBIAYAAN TERORISME

PENCUCIAN UANG DAN PEMBIAYAAN TERORISME


PENCUCIAN UANG (MONEY LOUNDRING)

Kasus kejahatan lintas negara merupakan kecenderungan yang tidak terelakkan dalam era globalisasi. Kecanggihan teknologi telah mempermudah serta memberikan pengaburan terhadap batas-batas negara. Hal ini menjadi faktor yang utama mengapa kejahatan bisa terjadi lintas negara. Salah satu bentuk kejahatan lintas negara yang amat mengalami kemajuan pesat adalah kejahatan pencucian uang (money loundring). Money Loundring merupakan tindakan kejahatan pencucian uang dimana uang yang didapat merupakan uang hasil tindak kejahatan yang kemudian dibuat seolah-olah uang tersebut merupakan hasil dari kegiatan yang legal. Money Loundring merupakan tindakan kejahatan yang tidak berdiri sendiri, artinya bahwa money loundring terjadi karena terlebih dahulu adanya tindakan kejahatan yang kemudian hasil tindak kejahatan tersebut diupayakan harus tampak berasal dari aktivitas yang legal. Melalui proses pencucian uang haram maka uang yang diperoleh dari hasil kegiaatan illegal akan tampak seolah-olah uang tersebut merupakan hasil dari kegiatan yang legal.

Pencucian uang (money loundring) sesungguhnya bukanlah bentuk kejahatan baru. Menurut Abadinski, pencucian uang ini dimulai semenjak Al capone dikenai pidana penjara karena melakukan pelanggaran pajak. Al Capone melakukan pencucian uang dari hasil perdagangan minuman al-kohol yang pada waktu itu dilarang yang kemudian uang hasil penjualan tersebut ditanam pada bisnis legal misalnya vending machine. Lebih jauh,  perkembangan tindak kejahatan money loundring mengikuti trend perkembangan global seiring dengan kemajuan tekhnologi.

Sifat money laundering menjadi universal dan bersifat internasional yakni melintasi batas-batas yurisdiksi negara. Tindak pidana penyuapan, korupsi, perjudian, pemalsuan uang serta aktivitas terorisme merupakan pemicu money laundering. Money Laundering dapat menimbulkan ketidak percayaan nasabah dan masyarakat kepada sistem perbankan. Apabila dikatakan bahwa kegiatan pencucian uang telah menembus batas negara berarti pemahaman hukum pidana terhadap kejahatan ini tidak lagi terkait dengan azas teritorial suatu negara saja akan tetapi lebih dari satu hukum nasional yang dilanggar. Uang hasil dari tindak pidana ini tidak saja disimpan atau dimanfaatkan dalam suatu lembaga keuangan suatu negara asal, akan tepi juga dapat ditransfer ke negara lain dengan berbagai macam cara dan kepentingan. Jika diperhatikan uang hasil money laundering itu telah melalui dua periode. Pertama uang itu diperoleh dari kejahatan, kedua uang itu dibersihkan melalui money laundering dengan berbagai cara sehingga menjadikan uang itu legal. Memperhatikan kasus money laundering, nampak kejahatan ini tersusun rapi dan bersifat internasional.

Pada tingkat internasional ada suatu konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988. Konvensi ini mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap tindakan tertentu yang berhubungan dengan money laundering. Berdasarkan konvensi ini RI telah meratifikasi dengan UU No 7 tahun 1997. Implementasi ratifikasi ini baru pada tahun 2002 RI membuat UU No 15 tahun 2002 menyatakan bahwa money laundering sebagai tindak pidana. UU No 15 tahun 2002 kemudian diubah dengan UU No 25 tahun 2003. Konsideran UU No 15 tahun 2002 jelas menyatakan bahwa pencucian uang bukan saja merupakan kejahatan nasional tetapi juga kejahatan transnasional, oleh karena itu harus diberantas, antara lain dengan cara melakukan kerja sama regional atau inter-nasional melalui forum bilateral atau multilateral. Konsideran UU No 25 tahun 2003 menyatakan bahwa agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif, maka UU No 15 tahun 2002 perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar internasional.

            Untuk melakukan proses money loundring, menurut Scott (1995) ada beberapa tahapan proses yang harus dilalui yaitu :
  1. Placement yang merupakan proses secara fisik mengubah uang kontan haram menjadi halal melalui deposito bank atau lembaga keuangan lain.
  2. Layering yaitu proses melakukan transaksi bisnis yang rumit dan berlapis-lapis untuk memisahkan uang hasil kejahatan dari asal-usulnya dan melakukan penyamaran jejak pembukuan.
  3. Integration adalah proses menjadikan uang haram menjadi tampak halal, melalui cara meminjamkan ke pihak lain mempergunakan kamuflase.

PEMBIAYAAN TERORISME

Aktivitas yang bernuansa terorisme mengalami peningkatan di berbagai tingkatan. Modus operandinya dan senjata yang dipakai semakin canggih dan memiliki daya perusak misalnya dengan korban manusia secara massal. Selain kerugian material, aksi terorisme itu berdampak luas dalam berbagai aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial dan keamanan, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional. Contoh faktual secara nyata adalah serangan WTC dan Pentagon 11 septemebr 2001 di Amreika Serikat serta serangkaian ledakan bom di beberapa kota yang terjadi di Indonesia pada tahun 2000 hingga tahun 2005

Kelompok-kelompok terorisme yang beroperasi di berbagai negara telah terkooptasi oleh jaringan terorisme internasional yang memiliki hubungan dan mekanisme dan kerjasama baik dalam aspek operasional maupun infrastruktur pendukung. Aktivitas terorisme ini kemudian menyadarkan dunia untuk bersama-sama memerangi terorisme yang beroperasi baik secara regional maupun global. Kepedulian ini diwujudkan dengan banyaknya kerjasama yang dilakukan oleh negara baik secara bilateral maupun unilateral dalam memerangi aksi terorisme.

            Dalam memerangi aksi terorisme harus dimaknai bahwa bagaimana upaya mengkriminalisasikan perbuatan teror yang dilakukan oleh kelompok teroris akan tetapi juga harus mengkriminalisasikan segala bentuk pembiayaan terorisme atau pembiayaan kepada kelompok terorisme. Berdasarkan pertemeuan FATF pada tanggal 19-20 September 2001 yang berlangsung di Wellington Selandia Baru ada dua metode yang dilakukan dalam pembiayaan bagi kegiatan teroris yaitu :

  1. Metode Pertama adalah melibatkan perolehan dukungan keuangan dari negara dan selanjutnya menyalurkan dana tersebut kepada organisasi teroris.
  2. Metode kedua adalah memperoleh secara langsung dari berbagai kegiatan yang menghasilkan uang.
Dua metode diatas merupakan metode yang sering dilakukan dalam mendukung aksi terorisme dari segi pembiayaannya. Menurut Komisar, jaringan terorisme di seluruh dunia bergantung pada sistem kerahasiaan bank dan korporasi internasional untuk menyembunyikan dan mengalihkan uang mereka. Struktur ini lebih dimungkinkan karena adanya kesepakatan diantara bank-bank di dunia dan karena kekuatan-kekuatan uang dunia. Banyak orang memperoleh uang dari hal tersebut, termasuk diantaranya adalah para pemilik dan para manajer bank-bank yang menyembunyikan simpanan nasabah mereka dari otoritas perpajakan. Tetapi konsekuensi tidak diinginkan yang timbul adalah bahwa hal tersebut memungkin untuk membantu jaringan terorisme dunia.

Suatu sistem keuangan dunia mengenal adanya sistem yang disebut dengan Clearinghouse atau lebih dikenal dengan istilah Clearstream. Sistem ini melakukan kegiatannya mentransfer dana untuk bank-bank Internasional dan perusahaan-perusahaan besar. Para nasabahnya terdiri atas bankir, para manajer investasi perusahan-perusahaan lepas pantai, para pengelak pajak, para pejabat yang kegiatannya memberikan jasa-jasa rahasia (secret service) para CEO dari perusahaan-perusahaan multinasional atau para teroris. Dengan demikian, Clearstream digunakan pula untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pembiayaan kepada teroris. Selain itu juga sistem ini memungkinkan bagi nasabahnya untuk membuka rekening Non-Published Account (rekening-rekening yang tidak dipublikasikan) yang tidak muncul di setiap dokumen  (Printed Document). Apabila para penegak hukum meminta untuk melihat catatan-catatan tersebut, rekening-rekening tersebut tidak akan dijumpai pada transaksi keuangan. Selain itu juga Tidak seperti halnya sebuah bank, Clearstream tidak memiliki pengawas eksternal yang efektif. Clearinghouse tersebut di audit oleh KPMG sebagai salah satu dari big five international firm. KPMG mungkin saja telah mengabaikan atau telah overlooked keberadaan sistem rekening rahasia tersebut.

Kalau perusahaan-perusahaan multinasional dan bank-bank internasional ternama memanfaatkan sistem pembukaan rekening rahasia dan tidak terpublikasikan sebagaimana yang terdapat pada sistem clearstream, maka lebih-lebih bukan saja para pencuci uang yang tidak ada hubungannya denga terorisme, tetapi juga organisasi yang terlibat dengan terorisme akan menggunakan sistem ini untuk membiayai aktivitasnya. untuk itu harus ada upaya internasional dalam menekan tidak adanya lagi sistem yang dapat membuka rekening yang tidak dipublikasikan. Ini merupakan wujud dari upaya pencegahan terorisme dari segi pembiayaannya.  

PBB (United Nation) sebagai badan berhimpunnya negara-negara dunia telah mengeluarkan sebuah konvesi internasional berkaitan dengan pemberantasan pembiayaan terorisme. Konvensi tersebut adalah International Convetion Fot The Supprresion Of The Financing Of Terorism dan telah ditandatangani oleh perwakilan masing-masing pemerintah anggota PBB di Kantor Besar PBB di New Tork pada tanggal 2000.

Dalam plenary meeting FATF (Financial Action task Force) yang dilaksanakan di Hong Kong pada tanggal 1 Februari 2002, dapat diketahui bahwa negara-negara di seluruh dunia telah bersatu dalam keyakinannya bahwa teroris dan mereka yang membantu para teroris harus dihalangi aksesnya ke sistem keuangan internasional. Termasuk didalamnya akses bagi kelompok teroris serta kelompok-kelompok yang ingin membantu pembiayaan terhadap aktivitas terorisme.

FATF telah menerbitkan standar internasional (special recommedations on terrorist financing) yang baru dalam rangka memberantas terrorist financing yang harus diadopsi dan dilaksanakan oleh negara-negara di dunia. Adapun standar internasional yang baru mengenai terrorist financing adalah sebagai berikut :
I. Ratifikasi dan Pelaksanaan Ketentuanketentuan PBB
Setiap negara harus mengambil tindakan sesegera mungkin meratifikasi dan melaksanakan ketentuan the 1999 United Nations International Convention tentang the Suppression of the Financing of Terrorism secara menyeluruh. Negara-negara juga harus secepatnya melaksanakan berbagai resolusi PBB berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan pendanaan kegiatan teroris, terutama ketentuan United Nations Security Council Resolution 1373.

II. Kriminalisasi Pendanaan Terorisme dan Pencucian Uang
Setiap negara harus mengkriminalisasi pendanaan terhadap terorisme, kegiatan teroris dan organisasi teroris. Negaranegara juga harus menjamin agar tindak pidana tersebut diperlakukan sebagai tindak pidana asal pencucian uang.

III. Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Teroris
Setiap negara harus melakukan berbagai upaya untuk memblokir secepatnya dana atau harta kekayaan lainnya milik teroris yang membiayai terorisme dan organisasi teroris menurut berbagai resolusi PBB berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan pendanaan kegiatan teroris. Setiap negara juga harus mengadopsi dan melakukan berbagai upaya, termasuk membuat undang-undang, yang menjadikan pihak berwenang dapat memblokir dan menyita kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana, atau digunakan dalam, atau dimaksudkan atau dialokasikan untuk digunakan dalam kegiatan teroris atau organisasi teroris.

IV. Pelaporan Transaksi-transaksi yang Mencurigakan Terkait dengan Terorisme
Jika lembaga keuangan, atau badan usaha atau perusahaan lainnya yang tunduk terhadap kewajiban anti pencucian uang, menduga atau memiliki alasan kuat untuk menduga bahwa dana terkait atau terhubung dengan, atau digunakan untuk terorisme, kegiatan teroris atau organisasi teroris, maka mereka wajib melaporkan dugaan-dugaan tersebut segera kepada pihak berwenang.

V. Kerjasama Internasional
Setiap negara harus mendukung negara lain berdasarkan suatu perjanjian, kesepakatan atau mekanisme lain dalam hal bantuan hukum timbal balik atau pertukaran informasi, berbagai bantuan lain yang dimungkinkan berkaitan dengan penanganan tindak pidana, penegakan hukum perdata, dan investigasi administratif, permohonan dan persidangan berkaitan dengan pendanaan terorisme, kegiatan teroris dan organisasi teroris. Negara-negara juga harus mengambil segala upaya untuk menjamin agar mereka tidak menyediakan safe havens kepada perorangan yang dituduh melakukan pendanaan terorisme, kegiatan teroris dan organisasi teroris, serta harus memiliki tata cara mengektradisi orang tersebut, jika dimungkinkan.

VI. Jasa Penerimaan Uang Alternatif
Setiap negara harus mengambil segala upaya untuk menjamin agar setiap orang atau badan usaha, termasuk agen, yang menyediakan jasa pengiriman uang atau dana, termasuk melalui sistem atau jaringan pengiriman uang atau dana informal, harus memiliki ijin atau terdaftar dan tunduk terhadap semua Rekomendasi FATF yang diberlakukan terhadap bank dan lembaga keuangan non bank. Tiap negara harus menjamin agar setiap orang atau badan usaha yang menyediakan jasa tersebut secara
tidak sah dibebankan sanksi administratif, perdata atau pidana.

VII. Wire Transfers
Setiap negara harus mengambil segala upaya mewajibkan lembaga keuangan termasuk jasa pengiriman uang, untuk meminta informasi akurat dan asli (nama, alamat dan nomor rekening) tentang transfer dana dan pesan-pesan terkait yang dikirim, dan informasi harus sama dengan transfer dan pesan terkait melalui jaringan pembayaran. Tiap negara harus mengupayakan guna menjamin agar lembaga keuangan, termasuk jasa pengiriman uang, melakukan pemeriksaan seksama atas kegiatan transfer dana yang mencurigakan dengan informasi yang tidak lengkap (nama, alamat dan nomor rekening) serta memonitornya.

VIII. Organisasi Non-profit
Negara-negara harus mengkaji kecukupan atas peraturan perundang-undangan mengatur tentang badan usaha yang dapat disalahgunakan untuk pendanaan terorisme. Organisasi non-profit terutama sekali rentan, dan negara-negara harus menjamin agar mereka tidak dapat disalahgunakan:
(i)  oleh organisasi teroris untuk digunakan sebagai badan usaha sah
(ii)  untuk mengeksploitasi badan usaha yang sah sebagai medium untuk pendanaan
       teroris, termasuk untuk tujuan menghidari asset dari upaya-upaya pemblokiran.
(iii) `untuk  menyembunyikan  atau  menyamarkan  pengiriman  dana  gelap  yang        
       dimaksudkan untuk tujuan-tujuan sah untuk kepentingan organisasi teroris.

IX. Jasa Kurir Uang Tunai
Negara-negara harus berupaya mendeteksi pengiriman mata uang dan alat pembayaran atas bawa lintas negara secara fisik, termasuk sistem membuat deklarasi atau kewajiban pelaporan lainnya. Negara-negara harus menjamin bahwa pihak yang berwenang memiliki kewenangan untuk menghentikan atau menahan mata uang atau alat pembayaran atas bawa yang diduga kuat terkait dengan pendanaan teroris atau pencucian uang, atau yang dilaporkan atau dideklarasi secara tidak benar. Negara-negara harus menjamin bahwa sanksi yang efektif, proporsional dan dissuasive  tersedia untuk dibebankan kepada orang-orang yang membuat deklarasi atau pelaporan yang tidak benar. Dalam kasus jika mata uang atau alat pembayaran atas bawa terkait dengan pendanaan teroris atau pencucian uang, negara-negara juga harus mengambil berbagai tindakan termasuk pembuatan undangundang yang sesuai dengan Rekomendasi Khusus III yang menjadikan mata uang atau alat pembayaran atas bawa tersebut dapat disita.

            Dengan melakukan kombinasi antara standar internasional yang baru dikeluarkan FATF dengan Forty Recommendation on Money loundring yang merupakan basic framework bagi upaya-upaya anti pencucian uang dan dimaksudkan untuk diaplikasikan secara universal, maka kombinasi tersebut dapat mendeteksi, mencegah, dan memberantas pembiayaan yang dilakukan oleh kelompok atau negara tertentu terhadap aksi-aksi terorisme.